Love is A Verb

Terinspirasi oleh lagu John Mayer-Love is A Verb

 

Satu tangan Mila menopang dagunya, pandangannya menatap ke arah jendela bening yang telah tertutup debu, melihat matahari yang kian tenggelam detik demi detik. Lilin dimejanya menari-nari tertiup angin senja, meja diseberang dan sekitarnya menatap kosong, terdengar samar pengamen menyanyikan sebuah lagu di meja paling ujung. Apa yang seharusnya ia lakukan, disaat seperti ini, yang terjadi justru pikirannya kosong, ia terus mencoba berkonsentrasi, menemukan jalan agar sesuatu dalam otaknya dapat membantu ia menghadapi situasi seperti ini. Pandangan Mila terhalang oleh sesuatu dimatanya, ia merasakan pipinya hangat dan bulir air itu jatuh, hidungnya memerah, nafasnya tersenggal dan ia tak dapat berpikir lagi. Beberapa orang mengatakan, akan sangat lebih baik jika dibuktikan, dan sekarang Riskie membuktikan itu padanya.

“sudah, jangan begini, ga enak dilihat orang disini”

“……” ia tak bisa bicara, suaranya hilang bersama bulir air yang terus jatuh, mengapa ia hanya bisa seperti ini?

 

Tangan itu mengusap wajahnya sendiri, tangan yang mengedarai motor untuk dapat bertemu dengannya,  ia menghela nafas panjang, Riskie ikut terdiam, entah apa yang dipikirkannya. Matanya kembali menatap Mila, dengan segala rasa ingin memiliki dan tak sanggup lagi melihat Mila seperti ini. Beberapa mengatakan mata adalah jendela hati seseorang, matanya tak dapat lagi berpaling, dia benar-benar belum bisa melupakan semua yang pernah dilalui bersama dengan Mila.

 

Mila menghela nafas panjang, merapikan duduknya, menurunkan tangan yang menopang dagu, kembali menatap ke depan. Melihat Riskie didepannya, duduk ditengah lampu remang dari restoran. Ia mengambil tisu dari tasnya, mengusap pipi dan matanya. Ia mencoba meneguk minuman didepannya. Jus jeruk itu melewati tenggorokannya, namun ia tetap merasakan kering. Hanya helaan nafas panjang yang tetap keluar dari mulutnya. Untuk kesekian kalinya, mereka pergi bersama. Keinginan untuk pergi itu tetap ada, saat itu dan sekarang mungkin yang ia butuhkan adalah penawar rasa sakitnya, sementara sayang dan cinta bukanlah obat, bukan sesuatu yang hanya bisa didengar, bukan suatu yang bisa diteriakan kepada seluruh dunia.

 “Sekarang bisakah kamu jawab pertanyaan aku dengan jujur?”

“pertanyaan apa?”

“menurut kamu, suatu hubungan harus disimpan rapat-rapat ataukah bisa dilihat oleh orang terdekat kita? Maksud aku, bukan sebuah hal yang rahasia”

“tentunya menurut aku, jangan jadi sebuah rahasia”

“Sekarang bagaimana dengan kita?”

Kita? Aduh, gimana ini yah. Mila meremas celana panjangnya dengan tangan yang ada dibawah meja, dia tak berani menatap Riskie, apa yang harus dilakukan? Mila masih bergelut dengan pikirannya. Dahinya mengkerut dan hanya berani menatap segelas jus jeruk dihadapannya.

 “Mila..?”

“Iya.. hmm… aku…” jawabnya ragu

 ***

“jadi kamu ga tau dia ada disini? Dikota ini?” Tanya mencoba menegaskan kembali jawaban dari Mila.

“iya, aku ga tau dia disini, bukannya aku mau jahat, tapi akupikir ini salah satu hal yang bisa aku lakukan. Berusaha untuk ga kontak dulu sama dia, buat menjaga perasaan aku dan dia juga” ujar Mila sembari duduk disebuah kursi di kantin.

“dan sekarang kamu ada disini, menemani dia yang terbaring di ruang rawat” ujat Tanya sambil menarik kursi disebelah Mila. Kantin itu tidak terlalu ramai, hanya beberapa orang duduk disamping meja yang lain, sebuah kantin kecil, sekitar enam meja dengan kursi disetiap sisinya.

“Kamu makan apa Mil?”

“kamu dulu deh, aku nanti aja”

“hmm.. ya sudah, aku pesenin sekalian buat kamu yah” Tanya langsung menghampiri pemilik kantin dibalik etalase makanan. Dia memesan Soto betawi dan rawon kesukaan Mila, menunjuk beberapa pastel dan martabak mini untuk cemilan.

Tanya kembali duduk didepan Mila yang menopang dagu dengan tangannya. Melihat kearah depan namun pandangannya kosong, Mila yang sering tersenyum dan bicara banyak hal didepannya, tiba-tiba saja menjadi tak banyak bicara, wajahnya datar, senyumnya menghilang, dahinya mengkerut seperti pegawai negeri yang memikirkan tunjangan yang tak kunjung naik. Tanya menggenggam tangan Mila, memutar kepalanya perlahan dan menarik garis bibirnya agar dia tersenyum.

“Ayolah Mil, jangan begini, aku tau kamu merasa bersalah sama dia, tapi kamu juga harus tetap tersenyum supaya dia juga bisa cepat pulih melihat kamu yang menanti dia dengan senyuman”

“iya, Ta… makasih ya” bibir Mila melengkung sedikit, ia mencoba mendengarkan nasihat sahabatnya.

 

“Rawonnya Mba… dan soto betawinya.. silahkan…”

“Iya makasih Mba”

 

“yuk, dimakan dulu, itu Rawon kesukaanmu loh, kayaknya enak tuh, ntar aku ikutan juga cobain yaaa.. kamu harus makan, jangan sampai sakit, nanti siapa yang jaga Riskie, okeh Mila?”

“iyah”

 ***

Wajah tirus, lingkaran coklat gelap dibawah mata, jenggot yang sedikit mulai tumbuh didagunya, rambut hitam dan bibir pucat itu tak kunjung selesai dilihat olehnya. Tangan itu sekarang ditemani oleh infus, tangan yang dulu sering mengendarai motor dan menemaninya ke beberapa tempat. Ia menarik kursi disamping tempat tidur itu, ia meraih tangan Riskie dan menggenggamnya perlahan. Tak sanggup rasanya melihat ia terbaring diatas tempat tidur putih ini.

 

“Mi-la..” suara terbata itu membangunkan Mila dari tidurnya. Ia segera menoleh ke arah suara.

“Ki…. Maafkan aku Ki….”Ia menundukkan kepala dalam, air matanya jatuh lagi.

“Aku ga apa-apa Mila, bentar lagi juga sembuh kok, dan ini semua bukan salah kamu, makasih kamu udah mau nengok aku disini” Riskie berkata pelan.

 

Leave a comment